Ruang Ibadah

Rakatalenta

Hidupkan Amal Dengan Ruh Keikhlasan


الأعمالُ صُوَرٌ قائمةٌ وأرواحُها وجودُ سِرِّ الإخلاص فِيهَا
Amal perbuatan adalah wujud independen sedangkan ruhnya adalah adanya keikhlasan di dalamnya.
Amal kebaikan bagaikan raga sedangkan ikhlas adalah ruhnya. Dengan ruh itu raga menjadi hidup dan berharga. Sebaliknya, tanpa ruh tersebut raga hanya menjadi bangkai yang tak berharga. Mempersembahkan amal kebaikan yang tidak ikhlas pada Allah ibarat menghaturkan bangkai pada Raja. Bukan ganjaran baik yang lebih layak didapatkan, melainkan kemarahan. Tanpa keikhlasan, suatu kebaikan kehilangan nilainya.
Keikhlasan yang dituntut di sini adalah segala macam keikhlasan sesuai dengan tingkat masing-masing orang. Ikhlasnya orang biasa adalah terbebasnya amal perbuatannya dari segala bentuk riya’ seperti pamer, ingin dipuji, ingin dilihat atau didengar orang, ingin balasan dari manusia, ingin dianggap baik, ‘ujub (membanggakan diri) dan sebagainya sehingga amalnya murni dilakukan untuk mengharap balasan dari Allah semata, baik mendapat surga atau pun terbebaskan dari neraka. Ini adalah tingkatan ikhlas kebanyakan orang. Dalam tingkatan ini seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) melihat adanya perannya sendiri dalam amal yang ia lakukan dan berharap dengan itu ia akan memperoleh balasan yang baik dari Allah.
Adapun ikhlasnya para muhibbin (orang-orang khusus yang cinta mati terhadap Allah) lebih tinggi dari tingkatan orang biasa tersebut. Para muhibbin melakukan amal kebaikannya bukan karena ingin balasan surga atau dijauhkan dari neraka, melainkan murni dipersembahkan pada Allah karena Dia memang berhak untuk itu. Bagi mereka, Allah memang sepatutnya disembah tanpa harus memberi balasan apapun pada yang menyembah dan yang menyembah tidak layak menuntut apapun dari Allah karena ibadahnya merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan. Betapa luhur dan sulitnya tingkatan ini, tapi meski demikian dalam tingkatan ini seorang salik juga masih melihat adanya perannya sendiri dalam amal yang dilakukannya.
Sebagian ulama ahli hakikat, di antaranya Syaikh al-Qusyairi, menyebut kedua tingkatan di atas sebagai tingkatan iyyaka na’budu (hanya kepada-Mu kami menyembah) yang berarti kami tidak menyembah siapa pun kecuali pada-Mu dan kami tidak mempersekutukan-Mu dengan yang lain.  Yang ditekankan dalam tingkatan ini adalah penyatuan tujuan amal, yakni murni pada Allah atau sering juga disebut dengan al-‘amal lillah (tindakan untuk Allah).
Ada tingkatan yang lebih tinggi lagi dari keduanya, yaitu tingkatan para muqarrabin (orang yang didekatkan oleh Allah pada-Nya. Istilah ini dipakai dalam dunia sufi untuk menunjukkan bahwa kedekatan pada Allah pada hakikatnya bukan hal yang dicapai tapi diberi sehingga istilahnya adalah “Yang didekatkan”, bukannya “Yang mendekatkan diri” atau pun “Yang sudah dekat”). Dalam tingkatan tertinggi ini, seorang salik tidak lagi melihat adanya peran dirinya sendiri dalam amal perbuatan yang ia lakukan. Baginya semua apa yang terjadi di dunia ini murni dengan kehendak Allah tanpa campur tangan siapa pun. Amal perbuatannya dianggap bagian dari kehendak Allah itu dan karenanya hanya Allah yang berperan di dalamnya, bukan dirinya sendiri sehingga dalam hatinya sama sekali tidak terbesit adanya minta balasan atau merasa bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk dipersembahkan pada Allah.
Ulama ahli hakikat menyebut tingkatan muqarrabin ini sebagai tingkatan iyyaka nasta’in (hanya kepad-Mu kami minta tolong) dalam arti kami tidak minta tolong dengan apapun selain-Mu, tidak dengan diri kami, daya kami atau pun kekuatan kami sendiri. Jika tingkatan sebelumnya adalah al-‘amal lillah (tindakah untuk Allah), maka tingkatan ini adalah al-‘amal billah (tindakan sebab/dengan Allah). Ini adalah tingkatan tauhid yang sempurna yang sesuai dengan makna la hawla wa la quwwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah).
Seorang guru berkata: “Perbaiki tindakanmu dengan ikhlas dan perbaiki keikhlasanmu dengan membebaskannya dari daya dan kekuatan”.
PERINGATAN:
Sering kali setan menipu orang-orang awam dengan bersenjatakan ulasan ikhlas seperti ini. Dengan cerdik setan membisikkan ketakutan untuk tidak ikhlas agar seseorang menghentikan amal baiknya sehingga banyak orang merasa enggan melakukan kebaikan dengan alasan masih belum bisa sepenuhnya ikhlas. Sebagai contoh, beberapa Muslimah enggan memakai jilbab dengan alasan karena merasa hatinya belum bersih, masih ada perasaan ingin dipuja dan dipuji. Beberapa orang kaya enggan menunaikan haji karena alasan belum siap secara rohani, masih ada sifat-sifat tercela yang tidak membuatnya pantas untuk berhaji. Beberapa orang urung untuk bersedekah karena alasan takut diketahui orang sehingga dikhawatirkan kurang ikhlas dalam memberi.
Kesemua orang yang demikian itu dalam dunia sufi dikenal sebagai al-maghrur (orang yang tertipu setan). Setan telah berhasil menipunya sehingga dia urung beramal baik dan akhirnya derajatnya sama saja dengan derajat orang yang tidak melakukan apa-apa. Seandainya orang-orang itu melihat dengan hati yang bersih, maka pasti mereka sadar bahwa melakukan amal yang tidak sempurna masih lebih baik dari tidak sama sekali. Berjilbab tanpa hati ikhlas masih jauh lebih baik daripada tidak berjilbab sama sekali. Dengan berjilbab berarti satu kewajiban ragawi telah dilakukan, tinggal menyempurnakan kewajiban rohaninya saja. Dengan beribadah haji meskipun kurang ikhlas berarti satu rukun islam telah terlaksana, tinggal menghilangkan perasaan-perasaan kotor dalam hati saja. Dengan bersedekah meskipun tanpa ikhlas berarti seseorang telah terbantu, tinggal niat pemberinya saja yang harus disempurnakan. Begitu seterusnya.
Dalam skala yang lebih parah, ada beberapa orang yang mencaci orang lain dengan dalih ketiadaan keikhlasan. Yang tidak berjilbab mencaci yang berjilbab dengan dibilang hatinya masih kotor sehingga menodai jilbabnya. Yang tidak bersedekah mencaci orang yang bersedekah dengan dibilang sedekahnya tidak tulus demi Allah sehingga percuma. Yang tidak berhaji mencaci yang sudah berhaji dengan dibilang dia belum pantas berhaji dan sebagainya. Orang-orang yang seperti ini bukan lagi al-maghrur (yang tertipu setan), melainkan setan itu sendiri karena setan itu memang terdiri dari jin dan manusia.
Begitulah, keikhlasan sering kali bukan hal yang langsung sempurna tapi hal yang harus dilatih. Dimulai dengan amal tanpa ikhlas menuju amal dengan ikhlas yang biasa dan terus naik menjadi amal dengan keikhlasan yang luar biasa.
Ya Allah jadikanlah kami sebagai orang-orang yang ikhlas. Amin.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/12/15/hikmah-10-hidupkan-amal-dengan-ruh-keikhlasan/]

Perbedaan Motivasi Hati

تَنوَّعتْ أجناسُ الأعمالِ لتنوُّعِ وارداتِ الأحوالِ
Beragamnya jenis amal ibadah karena beragamnya motivasi hati.
Motivasi hati (waridat al-ahwal) bisa berupa kesadaran ruhani dan makrifat rabbani. Motivasi seperti ini ada bermacam-macam. Masing-masing melahirkan suatu bentuk amal tersendiri. Misalnya, hati telah sadar akan keutamaan puasa sunah, maka secara otomatis akan menjadi pendorong untuk melakukan ibadah puasa sunah. Bila di hati telah timbul kesadaran tentang keutamaan bersikap lemah lembut, maka akan menjadi pendorong untuk timbulnya sikap lemah lembut dan begitu seterusnya. Tiap perbuatan lahiriyah selalu mengikuti kecenderungan-kecenderungan bathiniyah. Apabila batinnya telah cenderung pada hal-hal tertentu, maka raga pun akan terdorong untuk melakukannya.Sumber Asli: situswahab.wordpress.com
Sebaiknya seorang salik (penempuh jalan kesufian) mengikuti kecenderungan hatinya tersebut agar ibadahnya menjadi maksimal, bukan mengikuti kecenderungan hati orang lain. Semisal, seseorang dianugerahi kemantapan dan kesenangan untuk mengkhatamkan al-Qur’an melebihi kesenangannya melakukan ibadah lain, maka ikuti saja kemauan hati itu dengan banyak-banyak mengkhatamkan al-Qur’an. Tak perlu dia buru-buru ingin mengikuti langkah Guru A yang ahli wirid semalaman atau Guru B yang ahli belajar dan mengajar sehari semalaman penuh atau Guru C yang ahli puasa setiap hari atau Guru D yang ahli salat sunah ratusan rakaat tiap harinya dan sebagainya. Bila saja dia terburu-buru mengikuti langkah orang lain yang pada dasarnya dianugerahi motivasi hati yang berbeda oleh Allah, maka kemungkinan ibadah yang dia lakukan tidak akan maksimal.
Biarlah semuanya mengalir dengan sendirinya. Tekuni saja apa yang menjadi kecenderungan hatimu hingga nanti Allah memberimu kecenderungan hati untuk melakukan hal-hal yang lain lagi sebagai tanda tingkatanmu telah bertambah. Tatkala itu terjadi, tambahlah amalanmu dengan amalan lain yang sesuai dengan kecenderungan hati yang baru itu.
Namun demikian, imbauan untuk mengikuti kecenderungan hati ini hanya layak dilakukan ketika tidak ada arahan yang berbeda dari seorang Mursyid (guru tasawuf). Seandainya saja ada arahan yang berbeda darinya, maka arahan itulah yang harus dilakukan, bukan kecenderungan hatinya sendiri karena seorang Mursyid lebih mengetahui fase-fase riyadlah (penggemblengan diri) yang harus dilampaui muridnya hingga nantinya murid tersebut bisa naik ke tingkatan spiritual tertentu.
Keterangan lebih lanjut tentang ini akan ada dalam hikmah yang lain nanti pada kajian kitab ini, yaitu pada bagian “Indahnya amal perbuatan adalah buah indahnya motivasi hati”.

[Sumber:  http://situswahab.wordpress.com/2011/09/24/hikmah-9-perbedaan-motivasi-hati/]

Anugerah Jalan Makrifat.


إذا فتحَ لكَ وِجْهةً من التَّعرُّفِ فلا تبالِ معها أن قلَّ عملُكَ فإنه ما فَتَحَها لك إلا وهو يريد أن يتعرَّفَ إليكَ . ألم تعلم أن التَّعَرُّفَ هو مُورِدُهُ عليك والأعمال أنت مهديها إليه وأين ما تُهديه إليه مما هو مُورِدُهُ عليكَ
Jika Allah telah membukakanmu suatu orientasi makrifat, maka jangan lagi risaukan amal ibadahmu yang masih sedikit. Sesungguhnya Allah takkan membukakan jalan itu untukmu kecuali karena Allah sendiri hendak mengenalkan diri padamu. Tidakkah kau sadar bahwa makrifat itu Allah sendiri yang menyuguhkannya kepadamu sedangkan amal ibadah adalah suguhanmu kepada Allah? Di manakah posisi suguhanmu sendiri kepada Allah bila dibanding dengan suguhan Allah kepadamu?
Seorang salik (pencari kebenaran) hendaknya beribadah semaksimal mungkin agar terlepas dari jerat kelalaian diri hingga akhirnya bisa mencapai Tuhan. Namun, biasanya ada banyak hal yang menyebabkan seorang salik sulit untuk beribadah maksimal semisal: kejenuhan, kemalasan, berbagai kesibukan dan lain sebagainya hingga berkuranglah intensitas ibadah sunahnya, seperti: shalat dan puasa sunah, wirid, khulwah (kontemplasi) dan lain-lain. Namun meskipun kadang ibadah tidak terlalu banyak, dalam pencariannya seorang salik biasanya mendapat suatu pengalaman yang berorientasi pada makrifat.
Makrifat untuk mudahnya bisa diartikan sebagai kesadaran diri tentang suatu hakikat tersembunyi yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Makrifat merupakan tujuan utama dan impian tertinggi para salik. Orang yang telah mencapai makrifat disebut sebagai al-‘Arif. Ada banyak pengalaman yang berorientasi pada makrifat, misalnya: sakit, kemiskinan, kezaliman dari orang lain dan berbagai ujian lain yang pada esensinya justru berpotensi mengangkat derajat seorang hamba.
Contoh: Bila seorang salik dari lubuk hatinya sadar bahwa sakit yang diderita adalah batu loncatan untuk menggapai tingkat yang lebih tinggi karena pada hakikatnya sakit dapat menghapuskan dosa (sebagaimana disabdakan Rasul) dan sakit juga dapat meningkatkan kesabaran, maka berarti salik tersebut telah mendapat satu anugerah makrifat yang bernilai jauh lebih utama dari sejumlah banyak ibadah ragawi.
Allah telah berfirman dalam sebuah hadith qudsi:
إذا ابتليت عبدي المؤمن فلم يشكني إلى عواده أنشطته من عقالي وأبدلته لحماً خيراً من لحمه ودماً خيراً من دمه وليستأنف العمل
Bila Aku menguji hambaku kemudian dia tidak mengeluh padaku untuk kesembuhannya, maka akan kulepas dia dari jeratan ujianku dan kuganti dagingnya dengan daging yang lebih baik dan darahnya dengan darah yang lebih baik (menjadi manusia baru yang masih suci) dan (seraya kukatakan padanya) “mulailah amal ibadahmu lagi”.
Imam Muhammad bin Ali al-Turmudzi pernah bercerita:
Dulu aku pernah sakit. Tatkala sudah sembuh, aku membandingkan pelajaran yang dianugerahkan Allah dari sakitku dan ibadah ragawiku waktu itu lalu aku berkata dalam hati: “Manakah yang kupilih antara mengalami sakit dan ibadah ragawi yang banyak dalam waktu yang sama?” Maka aku yakin sekali dan mata hatiku pun setuju bahwa pilihan Allah itu lebih mulya, lebih membekas dan lebih bermanfaat, yaitu sakit yang ditimpakan Allah itu….. Kemudian bagiku sakit menjadi nikmat, nikmat pun menjadi anugerah, anugerah pun menjadi angan dan angan pun menjadi kasih. Aku berkata dalam hati: “Dengan inilah para Arif itu terus menerus dalam ujian hebat, tapi jiwanya tetap tenang bersama Tuhan. Dengan terungkapnya kesadaran kebenaran ini, mereka merasa bahagia menghadapi ujian berat.
Karena pengalaman yang berorientasi makrifat seperti itu didapat murni dari anugerah Allah atas hamba-Nya, maka bernilai jauh lebih utama daripada pencarian hamba itu sendiri terhadap kebenaran. Maka hendaknya setiap kesulitan hidup menjadi pelajaran tersendiri yang istimewa karena di balik tiap ujian ada potensi kemakrifatan yang bernilai jauh lebih besar dari ibadah dalam jumlah banyak. Karena itu, para ‘Arif  biasanya sering terlihat tidak begitu istimewa dalam hal ibadah ragawinya, tapi mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Sedikit amal ibadah ragawi yang disertai makrifat, jauh lebih bernilai dari banyaknya amal ibadah ragawi yang tidak disertai makrifat.
Catatan:
Makrifat dicapai melalui kesadaran diri (intuisi/dzauq), bukan dari pengetahuan akal. Jadi, misalnya seseorang tahu dari orang lain bahwa sabar menerima sakit, kemiskinan, dan beragam ujian lain yang menimpa adalah hal yang pada hakikatnya lebih utama untuknya dari ibadah ragawi, orang itu masih belum bisa disebut memperoleh kemakrifatan kecuali kalau pengetahuan itu berubah menjadi kesadaran dari lubuk hati terdalam. Tanda kesadaran itu telah muncul adalah manakala ada ketenangan hati menerima semua keputusan Allah terhadapnya. Wallahu a’lam.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/05/05/hikmah-8-anugerah-jalan-makrifat/]

Pantang meragukan janji Allah

لا يشككنك في الوعد عدم وقوعِ الموعود وإن تَعَيَّن زمنُه لئلا يكونَ ذلك قَدْحاً في بصيرتِكَ وإخماداً لنور سريرتك
Jangan sekali-kali kau meragukan janji Allah yang ternyata tidak terjadi, walau di waktu yang telah ditentukan sekalipun, agar hal itu tidak mencederai mata hatimu dan memadamkan cahayanya.
Seperti yang telah ditegaskan empat kali dalam al-Qur’an, Allah tidak pernah ingkar janji. Ketika Allah berjanji akan melakukan atau memberi sesuatu, maka itu pasti ditepati. Namun, adakalanya janji itu tidak juga terjadi karena kadang terjadinya janji-Nya itu sebenarnya digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang manusia tidak mengetahuinya.
Dalam kasus orang-orang spesial yang dijadikan kekasih oleh Allah, sering kali mereka mendapatkan visi (penerawangan) tentang kejadian di masa depan. Visi itu biasanya benar-benar terjadi, namun ada kalanya tidak terjadi seperti yang diperlihatkan kepada mereka karena adanya syarat-syarat samar yang tidak diketahui. Hal ini pernah terjadi pada Rasulullah ketika Beliau memberikan visinya pada para sahabat bahwa di tahun ini (pada waktu itu tahun Hudaibiyah) akan ada penaklukan oleh kaum muslim, namun ternyata penaklukan yang dijanjikan terjadi tahun berikutnya.
Dalam kasus orang-orang kebanyakan seperti kita, janji Allah tidak kita dapati dari visi tertentu melainkan hanya dari al-Qur’an dan hadith saja. Sekedar contoh, perhatikan ayat berikut:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ . وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ… [النور: 32، 33]
Kawinkanlah orang-orang yang singgle di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Adapun orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Karena firman tersebut, Abu Bakar berkata: “Patuhi perintah Allah dalam perintah untuk menikah, maka Dia akan menepati janji-Nya padamu tentang kekayaan”. Ibnu Ma’ud berkata: “Carilah kekayaan dalam pernikahan!” dan ada banyak komentar lain yang serupa. Rasul pun pernah menikahkah laki-laki yang tidak punya apapun selain sarungnya dan bahkan tidak mampu memberi mas kawin berupa cincin dari besi sekalipun. Yang dijadikan mas kawin akhirnya adalah mengajarkan ayat suci al-Qur’an. Semuanya karena janji Allah itu, janji yang pasti ditepati oleh-Nya.
Namun, beberapa orang mungkin bertanya dalam hatinya, mengapa saya tetap berkekurangan meskipun saya telah menikah? Atau mengapa saya belum juga mampu untuk membiayai pernikahan saya padahal saya telah berusaha dan umur pun sudah lebih dari cukup?
Dalam kasus seperti ini, hendaknya orang tersebut tidak berburuk sangka kepada Allah karena bisa saja janji itu digantungkan pada syarat tertentu yang ternyata tidak dilakukannya, seperti syarat memenuhi kewajibannya sebagai suami/istri, tetap di jalur yang dibenarkan, tidak ragu akan kuasa Allah, berusaha serta berdoa dengan sungguh-sungguh dan lain-lain.
Adab sopan santun kepada Allah mesti tetap dilakukan dalam keadaan apapun. Berburuk sangka dengan menyangka Allah tidak mengabulkan janji-Nya tidak akan mendatangkan kebaikan apapun, tapi justru akan mengundang kerugian karena Allah itu sesuai dengan yang dipersepsikan oleh hamba-Nya. Jadi baguskanlah persepsi Anda tentang Allah.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/04/25/hikmah-7-pantang-meragukan-janji-allah/]

Pantang Berputus asa dari pemberian Allah

لا يكُنْ تَأخُّرُ أَمَد العَطاء مَعَ الإلْحاح في الدّعَاءِ موجبَاً ليأسِك فهو ضَمِنَ لَكَ الإجابَةَ فيما يختارُهُ لكَ لا فيما تختاره لنَفْسكَ وفي الوقْتِ الذي يريدُ لا في الوقْت الذي تُريدُ
Janganlah keterlambatan datangnya anugerah Allah yang telah dibarengi dengan doamu yang sungguh-sungguh dan berulang kali  itu menyebabkanmu putus asa. Dia menjamin terkabulnya doamu dalam hal yang dipilih-Nya untukmu, bukan dalam hal yang kau pilih sendiri dan pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.
Allah Ta’ala berjanji akan mengabulkan doa orang-orang yang memohon kepadanya. Dengan seluruh kebesaran dan kemurahan, Dia berfirman: ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (QS. Ghofir: 60) “Berdoalah padaku, niscaya akan kukabulkan”.  Tapi, setiap orang hendaknya sadar bahwa Allah dengan segala Kebijakan dan Hikmah-Nya jauh lebih mengetahui apa yang terbaik dan dibutuhkan hamba-Nya. Dialah yang memilih apa hal yang paling tepat untuk seorang hamba miliki dan kapan waktu yang paling tepat untuk memberikan anugerah-Nya. Allah mengingatkan kita tentang ini dalam firman-Nya:
وَعَسى أن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (QS: al-Baqarah:216)
Mungkin saja kalian membenci sesuatu padahal itu yang terbaik untuk kalian. Mungkin saja kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk untuk kalian. Allah Maha Mengetahui sedang kalian tidak mengetahui”
Memang, sering kali kita merasa yakin betul terhadap apa yang kita butuhkan berdasarkan berbagai pertimbangan rasional, tapi  harus disadari bahwa seluruh pertimbangan kita hanya berdasarkan apa yang kita ketahui saja tanpa mempertimbangkan apa yang tidak kita ketahui. Allah telah mengetahui semua hal yang tidak ketahui dan semua hal yang belum terjadi pada kita sehingga lebih tahu apa yang paling tepat. Ada banyak orang yang memohon kekayaan tetapi belum juga dikaruniai kaya. Orang-orang itu yakin bahwa harta adalah hal yang dapat membebaskan mereka dari keterpurukan dan kesengsaraan tetapi Allah belum jua mengentaskan mereka dari kemiskinan. Seandainya mereka bisa melihat masa depan, tentu mereka akan tahu segala rahasia di balik keterlambatan terkabulnya doa mereka. Betapa banyak orang yang belajar dan menjadi bijak dalam kemiskinan. Mungkin saja Allah berkehendak kemiskinan mereka menjadi kesadaran berempati pada kaum tertindas ketika nanti Dia membuat mereka kaya atau mungkin Allah ingin kemiskinan mereka menjadi pelajaran dan motivasi untuk mendidik anak-anak yang sukses atau mungkin dengan pengetahuan-Nya, Allah tahu bahwa kekayaan materi bukan solusi yang tepat karena dapat mengubah perangai mereka menjadi orang-orang yang lalai, sombong atau zalim sehingga Allah menggantinya dengan kekayaan hati (kebijakan dan kelapangan dada). Ada banyak kemungkinan yang bisa saja luput dari pengetahuan dan pertimbangan kita.
Terkadang, keterlambatan terkabulnya doa disebabkan karena Allah suka mendengar permohonan hamba terkasih-Nya. Nabi bersabda:  أن الله يحب الملحين في الدعاء  (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersemangat lagi mengulang-ulang dalam berdoa). Dalam hadith lain disebutkan:
أن العبد الصالح إذا دعا الله تعالى قال جبريل : يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول : ” دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته
Tatkala seorang hamba yang shalih berdoa kepada Allah, maka Jibril berkata: “Wahai Tuhannya orang itu, kabulkanlah kebutuhannya”. Allah pun menjawab: “Biarkan hambaku!, Aku suka mendengar suaranya.”
Sebagai catatan, hal seperti ini tidak bisa diartikan sebagai bentuk “egoisme” Allah karena membiarkan orang yang shalih lebih lama dalam kesulitan karena hakikatnya setiap bagian dari doa orang itu diganti pahala; Kesabarannya, keteguhannya dalam berdoa, kemauannya untuk terus merendah dan memohon serta keyakinannya bahwa Allah akan mengabulkan doanya, kesemuanya itu bernilai pahala yang besar.
Keterlambatan terkabulnya doa seperi ini bukan hanya terjadi pada orang-orang biasa yang penuh dosa seperti kita, tetapi juga pada para Nabi yang mulia. Perlu waktu  40 tahun bagi doa Nabi Musa dan Harun untuk menjatuhkan Fir’aun (QS. Yunus: 88) hingga akhirnya dikabulkan (QS. Yunus: 89). Nabi Zakaria juga tak bosan-bosannya menunggu terkabulnya keinginannya untuk memiliki keturunan dari muda hingga usianya tua meskipun jelas-jelas istrinya mandul. Allah kemudian mengabulkan doa Nabi agung itu dan menganugerahkannya seorang putra bernama Yahya. (QS. Maryam: 1-9). Allah sendiri yang memberikan nama bagi anak spesial itu. Yahya, nama unik yang belum pernah ada sebelumnya di masa itu. Terkabulnya doa Nabi-nabi itu dalam situasi dan momen yang sangat tepat seperti diuraikan dalam sejarah.
Mari kita berdoa dengan sungguh-sungguh dan pantang berputus asa. Apapun yang terjadi setelah doa kita, itulah yang terbaik untuk kita.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/04/14/hikmah-6/]

Terhapusnya Mata Hati Sebab Prioritas Duniawi

اجتهادُكَ فيما ضَمِنَ لكَ وتقصيرُكَ فيما طَلَبَ منكَ دليلٌ على انْطماسِ البصيرةِ منْكَ

Usaha kerasmu dalam hal yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu dalam hal yang dituntut darimu adalah pertanda terhapusnya mata hatimu.
Hal yang telah dijamin untuk manusia adalah rizkinya sebagaimana firman Allah yang artinya: “Tidak ada satupun makhluk hidup di muka bumi kecuali atas Allah jaminan rizkinya” (QS. Hud: 6). Allah menjamin riqki tiap makhluk yang dihidupkan-Nya ke dunia-Nya yang besar kecilnya rizki tersebut diberikan berdasarkan kebijakan-Nya. Adapun hal yang dituntut dari seorang hamba adalah pengabdian kepada Allah seperti disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an. Pengabdian adalah tujuan pokok tiap hamba hidup di dunia ini.
Bila seseorang bekerja keras sedemikian rupa untuk mengejar rizki yang sebenarnya sudah ditentukan untuknya dan pada waktu yang sama dia melalaikan kewajibannya kepada Allah, itu adalah pertanda bahwa mata hatinya telah terhapus. Mata hati ini adalah kemampuan jiwa untuk melihat kebenaran hingga jauh ke depan. Dengannya, manusia bisa tahu apa yang harus jadi prioritas utama dalam hidupnya. Tanpa mata hati, orientasi hidup seseorang bisa keliru dan akibatnya dia akan menyesal kelak di akhirat. Allah berfirman: وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ  “akhir yang baik hanya bagi orang yang bertaqwa” (QS. Al-A’raf: 128).
Sebaliknya, orang yang mengetahui hakikat ini sehingga hatinya lebih banyak disibukkan dengan zikir dan ibadah daripada melulu memikirkan rizkinya, maka mata hatinya akan terbuka lebar sehingga bisa menangkap cahaya kebenaran dengan baik. Mata hatinya akan membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang dan dia mampu menangkap rahasia yang paling tersembunyi dari setiap peristiwa.
Yang harus dihindari di sini adalah kerja keras sedemikian rupa dengan menghabiskan banyak waktu serta pikiran dalam mencari rizki, bukan bekerja mencari rizki itu sendiri. Adapun bekerja mencari rizki dengan cara yang sewajarnya dan tanpa melalaikan ibadah adalah sunnatullah yang mesti dilakukan, seperti dalam firman-Nya yang artinya: “Bila engkau sudah shalat, maka menyebarlah di muka bumi dan carilah kemurahan Allah (rizki dari-Nya) serta banyak ingatlah kepada Allah agar kalian beruntung” (QS. Al-Jum’ah: 10). Bahkan bila tujuannya sebagai bekal ibadah dan mencukupi nafkah keluarga, maka berkerja dapat menjadi poin ibadah juga. Dalam konteks ini Rasul bersabda: من بات كالاً من طلب الحلال بات مغفوراً لهbarang siapa yang istirahat di malam hari dalam keadaan payah karena mencari rizki, maka dia istirahat di malam hari dalam keadaan diampuni dosanya”.
______________________
Special Note:
Banyak orang—bahkan orang yang dikenal sebagai da’i dan khatib jum’at sekalipun—yang keliru memahami dalil-dalil islam berikut hingga sampai pada kesimpulan bahwa bekerja untuk dunia dan akhirat idealnya harus sama-sama seimbang dan harus sama-sama diprioritaskan. Dalil yang sering disalahpahami tersebut adalah:
1.    وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا   “carilah negeri akhirat yang telah Allah berikan kepadamu dan jangan lupakan bagianmu dari dunia”. (QS. Al-Qashash:77).
Ayat ini tidak memerintahkan untuk mencari dunia dan akhirat 50%-50%, tetapi perintah untuk berusaha keras mencari akhirat dengan catatan penghidupan duniawi jangan ditinggal seratus persen. Perbandingannya, sama dengan nasehat orang tua pada anaknya: “Nak, belajarlah yang giat di kampus, tapi jangan lupa istirahat”. Nasehat itu bukan perintah untuk belajar giat dan istirahat dengan giat juga bukan? Bukan juga perintah untuk belajar 50% dan istirahat 50%, tetapi istirahat seperlunya saja dan selebihnya belajar yang giat. Dalam konteks ayat tersebut, berarti pesannya adalah: Beribadahlah dengan giat untuk akhirat dan carilah dunia seperlunya saja, jangan diprioritaskan melebihi akhirat dan jangan ditinggalkan seratus persen.
2.    Hadith Nabi احرز لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لآخرتك كأنك تموت غداKumpulkanlah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. (H.R. al-Harith.). * Hadith senada juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi.
Hadith di atas juga tidak untuk menekankan kesejajaran prioritas dunia dan akhirat. Bagaimana mungkin antara “hidup selamanya” dan “mati besok” mempunyai arti yang sama, yaitu: “melakukan dengan giat dan sungguh-sungguh”, seperti yang sering diartikan oleh banyak da’i dan motivator muslim. Maksud hadith di atas sebenarnya adalah: Kumpulkan kebutuhan duniawimu tanpa harus terlalu “ngoyo” seakan engkau akan hidup selamanya; masih banyak waktu dan tak perlu tergesa-gesa. Sebaliknya, beribadahlah untuk akhirat segiat dan se-khusyuk mungkin seolah tidak ada waktu santai lagi karena hidupmu akan berakhir besok. Dalam kitab Ittihaf al-Khiyarah karya al-Bushiri, hadith ini diletakkan dalam bab yang menerangkan celaan terhadap orang yang menomorduakan akhirat daripada dunia.
Kesimpulan yang keliru tersebut meskipun sepintas enak di dengar karena bisa dijadikan dalil etos kerja untuk dunia dan akhirat sekaligus, namun bertentangan dengan banyak dalil-dalil lain yang tak terhitung jumlahnya. Semoga kita semua mendapat hidayah dan dijauhkan dari ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan dan membawakan dalil. Amin. Wallahu A’lam.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/04/14/hikmah-5-terhapusnya-mata-hati-karena-prioritas-duniawi/]

Mencemaskan masa depan

أرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيرِ فما قامَ بهِ غيرُكَ عنْكَ لا تَقُم بهِ لنفسِكَ

Istirahatkan dirimu dari mencemaskan masa depan. Apa yang sudah ditanggung pihak lain (Allah) untukmu, kau tidak perlu ikut menanggungnya.
Tadbir yang dimaksud di sini adalah mencemaskan masa depan dengan berlebihan sehingga mengerahkan seluruh daya upaya untuk mewujudkan masa depan yang diimpikan oleh nafsunya. Tadbir dalam arti ini sangat tidak baik karena hal ini dapat merampas ketenangan hidup dan lebih-lebih pada kenyataannya, tidak seluruh yang ditakutkan akan benar-benar terjadi. Kesempatan ibadah pun akan berkurang drastis karenanya.
Allah akan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya dengan cara yang misterius. Masa depan setiap orang sesungguhnya adalah tanggungan-Nya. Dialah yang menjamin rizki tiap makhluk. Lihatlah cecak, Allah menjamin kecukupan makanannya dari serangga-serangga kecil yang beterbangan, padahal cecak diciptakan tidak bisa terbang untuk menjemput makanannya. Tenangkan hatimu yang gelisah karena hal-hal yang belum tentu terjadi, pasrahkan dirimu pada Allah dengan usaha terbaikmu dan yakinlah bahwa Allah tidak akan menelantarkanmu. Bukankah Allah telah menjaga, membesarkan dan merawatmu hingga kini? itu pula yang akan dilakukan-Nya untukmu di masa depan sampai waktu berkunjungmu di dunia ini berakhir. Bukankah sekuat apapun engkau membuat rencana-rencana hasilnya tetap ditentukan oleh izin Allah semata?
Buanglah seluruh pertanyaan-pertanyaan negatif seperti: bagaimana bila nanti suami meninggal? Bagaimana bila nanti bisnisku merugi? Bagaimana bila nanti tidak dapat mencukupi kebutuhan anak-anak? Bagaimana bila nanti SPP naik dan sebagainya yang sering meresahkan. Gantilah dengan kata-kata positif seperti “bila nanti di depan ada kesulitan, Allah pasti akan menunjukkan jalan keluarnya untukku seperti yang sudah-sudah” atau “bila Allah menutup satu pintu untukku, maka Dia pasti membuka pintu yang lain untuk kulewati, aku hanya perlu mencarinya” dan sebagainya.
Allah berfirman yang artinya: “Setan menjanjikan kamu kemiskinan sedangkan Allah menjanjikanmu pengampunan” (al-Baqarah: 268). Rasa takut rugi, takut miskin dan cemas berlebihan perihal ekonomi adalah dari bisikan setan agar manusia lupa akan ke-Maha Pengasihan-Nya.
Adapun tadbir yang berarti planning/perencanaan masa depan secara wajar tanpa menjadikannya sebagai fokus utama kehidupan, seperti contoh memikirkan strategi bisnis yang sedang dijalani, maka itu diperbolehkan. Karenanya, Rasul bersabda: “Tadbir (dalam arti bisnis planning) adalah separuh dari penghidupan“.
Fokuskan sebagian besar pikiranmu untuk hal-hal yang sudah pasti terjadi, yaitu: kematian dan pertanggung jawaban di akhirat karena dii akhiratlah kehidupan yang sejati dimulai, bukan di dunia ini. Berbuat baiklah dan maksimalkan potensimu dalam kebaikan sejak kini.

[Sumber: http://situswahab.wordpress.com/2011/04/14/hikmah-4-mencemaskan-masa-depan/]